Rabu, 26 Agustus 2009

euthanasia

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu: Eu artinya baik thanatos artinya mati. Bila diterjemahkan langsung artinya mati baik, mati dengan tenang atau sering disebut juga dengan “Mercy Killing”. Tapi pengertian ini tidak tepat untuk euthanasia karena yang disebut mati dengan tenang / mati dengan damai adalah mati yang sudah disiapkan sebelumnya oleh orang tersebut / si pasien. Siap matia dalam artian siap lahir bathin atau sering disebut dengan siap fisiologis maupun psikologis.
Ada beberapa jenis Euthanasia antara lain:
a. Euthanasia aktif
Perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seseorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat – obatan yang bekerja cepat dan mematikan



b. Euthanasia pasif
Perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
c. Euthanasia Volunter
Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan pasien
d. Euthanasia Involunter
Euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar dimana tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan pembunuhan kriminal.

Konsep tentang mati
a. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa berhentinya jantung, organ yang memompa darah mengalir keseluruh tubuh. Dalam PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru paru. Tetapi benarkah demikian? Dalam pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru paru yang telah berhenti, adakalanya dapat di pulihkan kembali. Sehingga di lihat dari perkembangan teknologi kedokteran, kriteria mati yang di tetapkan PP No. 18 1981 tersebut sebenarnya sudah ketinggalan zaman.
b. Mati sebagai lepasnya nyawa dari tubuh
Kapan sebenarnya saat nyawa meninggalkan tubuh? Pada umumnya banyak yang beranggapan bahwa nyawa terlepas dari tubuh ketika darah berhenti mengalir. Tetapi di kaitkan dengan perkembangan teknologi yang telah dikemukkan diatas, dapatkah nyawa ditarik kembali melalui teknologi resusitasi? Jika kita beranggapan bahwa sekali nyawa itu lepas, tidak mungkin manusia dapat menariknya kembali, maka kriteria berhentinya darah mengalir pada saat nyawa meninggalkan tubuh tidak tepat lagi.
c. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen (irreversible loss of ability)
Dalam pengertian ini, fungsi organ-organ tubuh yang semula bekerja secara terpadu kini berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali, karena fungsi pengendali (otak) sudah rusak dan tidak mampu mengendalikan mereka. Pandangan ini memang sudah sangat teknis tetapi belum memastikan bahwa otak telah mati. Hanya mengatakan bahwa otak tidak lagi mampu mengendalikan fungsi organ – organ lain secara terpadu. Pandangan ini diwarnai oleh pengalaman dalam teknologi tranplantasi organ.secara teknis medis, untuk kepentingan transplantasi, memang pandangan ini memadai. Tetepi secara moral menjadi pertanyaan, jika organ-organ manusia itu masih berfungsi, meskipun tidak terpadu lagi, benarkah orang itu sudah mati?
d. Hilangnya kemampuan manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi sosial
Konsep ini dikembangkan dari konsep ke – 3 tadi, tetapi dengan penekana moral, yaitu dengan memperhatikan fungsi manusia sebagai mahluk sosial. Manusia di gambarkan oleh Henri Beecher sebagai “... individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupanya, kekhususannya, kemampuannya mengingat, menentukan sikap dan mengambil keputusan, mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat, menikmati, mengalami kecemasan dan sebagainya.
Konsep ini tidak lagi melihat apakah organ – organ tubuh yang lain masih berfungsi atau tidak., tetapi apakah otaknya masih mampu atau tidak menjalankan fungsi pengendalian, baik secara jasmani maupun sosial, atau tidak. Dalam konsep ini kepentingan transplantasi tidak menjadi pertimbangan utama lagi, tetapi juga tidak dilupakan.
Pengembangan kriteria mati yang baru bagi dunia kedokteran, secara moral, bukan hanya demi untuk kepentingan transplantasi organ saja, tetapi juga untuk memastikan kapan alat – alat bantu resusitasi boleh dihentikan.
Oleh karena itu para pakar kedokteran mencari tanda-tanda baru tentang kematian, yang memenuhi kriteria teknis dan kritera moral. Konsep yang paling dekat dengan kepentingan ini adalah konsep yang keempat. Karena pusat penggerak berbagai fungsi dalam tubuh manusia itu secara anatomis diketahui terletak di batang otak. Bila batang otak sudah mati, dapatlah diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan sosial sudah mati. Itulah awal dari kriteria kematian batang otak sebagai kriteria yang baru.



Euthanasia versus Etika dan hukum Kedokteran di Indonesia
Lafal sumpah dokter Indonesia (yang isinya sesuai dengan deklarasi jenewa 1948 dan Deklarasi Sidney 1968) antar lain berbunyi:
“saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan .....” dan
“saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan .....”.
Sedangkan kode etik kedokteran Indonesia menyatakan:
“..... Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani.....”.
Dengan demikian menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan malakukan abortus maupun pengakhiran hidup seseorang yang sakit atau tegasnya euthanasia.
Aturan hukum tentang euthanasia di Indonesia belum jelas mengatur namun beberapa pasal KUHP cukup tegas menyebutkan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang, apalagi euthanasia aktif dengan permintaan.
Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia, dapat disebutkan antara lain:
Pasal 338 : barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 : barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lalamanya dua puluh tahun.
Pasal 344 : barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 345 : barang siapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam denga pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pasal 359 : menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun.
Sedangkan hubungan hukum dengan dokter-pasien secara umum dapat pula ditinjau dari sudut perdata, di mana pasal-pasal 1313, 1314, 1315 dan 1319 KUH Perdata mengatur hal perjanjian tersebut. Selanjutnya pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, dituntut izin berdasarkan keinginan bebas dari kedua belah pihak.
Dengan demikian apabila seorang dokter melakukan suatu tindak medik tanpa izin pasien, dapat dikategorikan sebagai tindak penganiayaan dan dapat dikenakan pasal 351 KUHP.
Uraian di atas, sepintas lalu tampak bahwa doter (dan tenaga kesehatan lainnya) terjepit dalam posisi “serba salah” menghadap euthanasia. Kalau pasien dibiarkan meninggal atau tidak dilakukan suatu tindak medik tertentu terhadap pasien, dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 KUHP, yang berbunyi: “barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib memberi kehidupan perawatan, atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4500-,”. Sebaliknya apabila dokter melakukan suatu tindak medik dan kemudian pasien meninggal, ia dapat dituntut karena melakukan tindak menghilangkan jiwa orang lain sebagaimana disebut dalam pasal – pasal KHUP.
Walaupun euthanasia pada dasarnya telah diatur dengan pasal – pasal KUHP seperti tersebut diatas, khususnya pasal 344 tetapi Van Wijmen (1985) mencatat beberapa hal yang tidak termasuk dalam rumusan pasal tersebut yaitu:
· Abstinence, of which the essence is that treatment in medical respects is useless
· Refusing treatment by the patient, in which case the patien’s decision must be fully respected
· Brain – death, in which case the duty to treat ceasestro exist.
Sedangkan Leneen mensinyalir bahwa dalam dunia medis kadang – kadang dapat disaksikan bentuk – bentuk pengakhiran kehidupan yang bukan euthanasia tetapi mirip dengannya, yang kemudia dirumuskan dengan istilah euthanasia – semu ( pseudo – euthanasia ).
Bentuk – bentuk Pseudo – euthanasia itu adalah :
1. Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati batang otak.
2. Pengakhiran hidup seseorang akibat keadaan darurat yang dapat terjadi oleh kuasa tak terlawan (force majeure).
3. Menghentikan suatu perawatan medik yang diketahui tak ada gunanya lagi.
4. Pasien menolak perawatan medik
Dalam hal pengakhiran kehidupan yang di kehendaki oleh pasien yaitu pasien menolak perawatan medik dapat lihat dari informed concent yaitu suatu perjanjian yang dilakukan antara tenaga medis dan pasien yang diatur juga dalam KUHPerdata pasal 1320 yang berbunyi: untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentuSuatu sebab yang halal

etika keperawatan

A. Pengertian
Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perilaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan oleh seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawab moral.
Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standard dan prinsip-prinsip yang menjadi panutan dalam berperilaku serta membuat keputusan untuk melindungi hak-hak manusia .

B. Konsep moral dalam praktik keperawatan
Praktik keperawatan, termasuk etika keperawatan, mempunyai berbagai dasar penting seperti advokasi, akuntabilitas, loyalitas, kepedulian, rasa haru dan menghormati martabat manusia. Tetapi yang lazim di gunakan dan menjadi bahan kajian di praktik keperawatan adalah : advokasi, akuntabilitas, dan loyalitas

Advokasi
Advokasi menurut ANA (1985) “melindungi klien atau masyarakat terhadpa pelayanan kesehatan dan keselamatan praktik tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar etika yang dilakukan oleh siapapun”
Pada dasarnya peran perawat dalam advokasi adalah; “memberi informasi dan member bantuan” kepada pasien atas keputusan apapun yang dibuat pasien.
Member informasi bererti menyediakan penjelasan atau informasi sesuai yang dibutuhkan pasien.
Memberikan bantuan mempunyai dua peran yaitu
a. Peran aksi : perawat memberikan keyakinan kepada pasien bahwa mereka mempunyai hak dan tanggungjawab dalam menentukan pilihan atau keputusan sendiri dan tidak tertekan dengan pengaruh orang lain
b. Peran non aksi : pihak advokad seharusnya menahan diri untuk tidak pempengaruhi keputusan pasien (Kohnke, 1982; lih Megan, 1991)

Akuntabilitas
Yaitu dapat mempertanggungjawabkan suatu tindakan yang dilakukan dapat menerima konsekwenasi dari tindakan tersebut (Kozier, Erb, (1991)
Menurut Fry (1990) akuntabilitas mempunyai dua komponen yaitu tanggung jawab dan tanggung gugat. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan perawat dilihat dari praktik keperawatan, kode etik dan undang-undang dapat dibenarkan atau absah
Akuntabilitas juga dapat dipandang dalam sistim hirarki dari tingkat Individu, institusi/professional dan tingkat social
· Individu direflesikan dalam proses pembuatan keputusan etika perawat, kompetensi dan integritas
· Institusi direfleksikan dalam pernyataan falsafah dan tujuan bidang keperawatan atau audit keperawatan
· Professional direfleksikan dalam standar praktik keperawatan
· Social direfleksikan dalam undang-undang yang mengatur praktik keperawatan

Loyalitas
Layalitas merupakan suatu konsep dari berbagai segi yaitu simpati, peduli, dan hubungan timbale balik terhadap pihak yang secara professional berhubungan dengan perawat. Hubungan professional dipertahankan dengan cara menyusun tujuan bersama, menepati janji, menentukan masalah dan prioritas, serta mengupayakan pencapaian keputusan bersama (Jameto, 1984; Fry, 1991; lih Creasia, 1991)
Loyalitas merupakan elemen pembentuk kombinasi manusia yang mempertahankan dan memperkuat anggota masyarakat keperawatan dalam mencapai tujuan. Layalitas juga dapat mengancam asuhan keperawatan bila terjadi konflik antara teman sejawat.
Argument dari Creasia 1991 untuk memepertahankan loyalitas adalah :
a. Masalah pasien tidak boleh didiskusikan dengan pasien lain dan perawat harus bijaksana bila informasi dari pasien harus di diskusikan secara professional
b. Perawat harus menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat (celotehan) dan berbagai persoalan, yang berkaitan dengan pasien, rumah sakit atau pekerja rumah sakit, harus didiskusikan dengan umum (terbuka dengan masyarakat)
c. Perawat harus menghargai dan memberikan bantuan kepada teman sejawat
d. Pandangan masyarakat terhadap profesi keperawatan ditentukan oleh kelakuan anggota profesi (perawat).

Kode Etik Keperawatan
Kode Etik Keperawatan merupakan bagian dari etika kesehatan yang menerapkan nilai etik terhadap bidang pemeliharaan atau pelayanan kesehatan masyarakat.
Kode etik merupakan salah satu cirri/persyaratan profesi, yang memberikan arti penting dalam penentuan, pemertahanan dan peningkatan standar profesi. Kode etik menunjukan bahwa tanggung jawab dan kepercayaan dari masyarakat telah diterima oleh profesi. (Kelly, 1987)
Tujuan kode etik keperawatan menurut Kozier, Erb, 1990 adalah
a. Sebagai aturan dasar terhadap hubungan antara perawat, pasien tenaga kesehatan, masyarakat dan profesi
b. Sebagai standar dasar untuk mengeluarkan perawat yang tidak mentaati peraturan dan untuk melindungi perawat yang menjadi pihak tertuduh secara tidak adil
c. Sebagai dasar pengembangan kurikulum pendidikan keperawatan dan untuk mengorientasikan lulusan baru pendidikan keperawatan dalam memasuki jajaran praktik keperawatan praktik professional
d. Membantu masyarakat dalam memahami perilaku keperawatan professional

Kode Etik Keperawatan pertama kali diterbitkan oleh PPNI tanggal 29 November 1989. terdiri dari empat bab dan enam belas pasal

Kode Etik Keperawatan Menurut ANA
Kode Etik Keperawatan Menurut ANA (American Nurses Association) adalah
a. Perawat memberikan pelayanan dengan penuh hormat bagi martabat kemanusiaan dan keunikan pasien yang tidk dibatasi oleh pertimbangan-pertimbangan status sosial atau ekonomi, atribut personal, atau corak masalah kesehatannya
b. Perawat melindungi hak pasien akan privasi dengan memegang teguh informasi yang bersifat rahasia
c. Perawat melindungi pasien dan publik bila kesehatan dan keselamatanya terancam oleh praktik seseorang yang tidak berkompeten, tidak etis atau ilegal
d. Perawat memikul tanggungjawab atas pertimbangan dan tindakan perawat yang dijalankan masing-masing individu
e. Perawat memelihara kompetensi keperawatan
f. Perawat melaksanakan pertimbangan yang beralasan dan menggunkaan kompetensi dan kualifikasi individu sebagai kriteria dalam mengusahakan konsultasi, menerima tanggungjawab, dan melimpahkan kegiatan keperawatan kepada orang lain
g. Perawat turut serta beraktivitas dalam membantu pengembangn pengetahuan perofesi
h. Perawat turut serta dalam upaya-upaya profesi untuk membentuk dan membina kondisi kerja yang mendukung pelayanan keperawatan yang berkualitas
i. Perawat turut serta dalam upaya-upaya profesi untuk melindungi publik terhadap informasi dan gambaran yang salah serta mempertahankan integritas perawat
j. Perawat bekerjasama dengan anggota profesi kesehatan atau warga masyarakat lainya dalam meningkatkan upaya-upaya masyarakat dn nasional untuk memenuhi kebutuhan kesehatan publik


Kode Etik Keperawatan Menurut International Council of Nurses (ICN)
ICN adalah suatu federasi perhimpunan perawat nasional di seluruh dunia yang didirikan ada tanggal 1 juli 1899 oleh Mrs. Bedford Fenwich di Hanover Square London. Dan direvisi pada tahun 1973
Uraian Kode Etik Menurut ICN
Tanggungjawab utama Perawat
Tanggungjawab utama perawat adalah meningkatkan kesehatan, mencegahtimbulnya penyakit, memelihara kesehatn, dan mengurangi penderitaan. Untuk melaksanakanya perawat harus meyakini bahwa:
1. kebutuhan pelayanan keperawatan diberbagai tempat adalah sama;
2. pelaksanaan praktik keperawatan dititik beratkan pada penghargaan terhadap kehidupan yang bermartabat dan menjungjung tinggi hak azazi manusia
3. dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dan/atau keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, perawat mengikutsertakan kelompok dan instansi terkait
Perawat , Individu, dan Anggota Kelompok Masyarakat
Peawat dan Pelaksana Praktik Keperawatan
Perawat dan Lingkungan Masyarakat
Perawat dan sejawatPerawat dan Profesi Keperawatan