Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu: Eu artinya baik thanatos artinya mati. Bila diterjemahkan langsung artinya mati baik, mati dengan tenang atau sering disebut juga dengan “Mercy Killing”. Tapi pengertian ini tidak tepat untuk euthanasia karena yang disebut mati dengan tenang / mati dengan damai adalah mati yang sudah disiapkan sebelumnya oleh orang tersebut / si pasien. Siap matia dalam artian siap lahir bathin atau sering disebut dengan siap fisiologis maupun psikologis.
Ada beberapa jenis Euthanasia antara lain:
a. Euthanasia aktif
Perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seseorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat – obatan yang bekerja cepat dan mematikan
b. Euthanasia pasif
Perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
c. Euthanasia Volunter
Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan pasien
d. Euthanasia Involunter
Euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar dimana tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan pembunuhan kriminal.
Konsep tentang mati
a. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa berhentinya jantung, organ yang memompa darah mengalir keseluruh tubuh. Dalam PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru paru. Tetapi benarkah demikian? Dalam pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru paru yang telah berhenti, adakalanya dapat di pulihkan kembali. Sehingga di lihat dari perkembangan teknologi kedokteran, kriteria mati yang di tetapkan PP No. 18 1981 tersebut sebenarnya sudah ketinggalan zaman.
b. Mati sebagai lepasnya nyawa dari tubuh
Kapan sebenarnya saat nyawa meninggalkan tubuh? Pada umumnya banyak yang beranggapan bahwa nyawa terlepas dari tubuh ketika darah berhenti mengalir. Tetapi di kaitkan dengan perkembangan teknologi yang telah dikemukkan diatas, dapatkah nyawa ditarik kembali melalui teknologi resusitasi? Jika kita beranggapan bahwa sekali nyawa itu lepas, tidak mungkin manusia dapat menariknya kembali, maka kriteria berhentinya darah mengalir pada saat nyawa meninggalkan tubuh tidak tepat lagi.
c. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen (irreversible loss of ability)
Dalam pengertian ini, fungsi organ-organ tubuh yang semula bekerja secara terpadu kini berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali, karena fungsi pengendali (otak) sudah rusak dan tidak mampu mengendalikan mereka. Pandangan ini memang sudah sangat teknis tetapi belum memastikan bahwa otak telah mati. Hanya mengatakan bahwa otak tidak lagi mampu mengendalikan fungsi organ – organ lain secara terpadu. Pandangan ini diwarnai oleh pengalaman dalam teknologi tranplantasi organ.secara teknis medis, untuk kepentingan transplantasi, memang pandangan ini memadai. Tetepi secara moral menjadi pertanyaan, jika organ-organ manusia itu masih berfungsi, meskipun tidak terpadu lagi, benarkah orang itu sudah mati?
d. Hilangnya kemampuan manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi sosial
Konsep ini dikembangkan dari konsep ke – 3 tadi, tetapi dengan penekana moral, yaitu dengan memperhatikan fungsi manusia sebagai mahluk sosial. Manusia di gambarkan oleh Henri Beecher sebagai “... individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupanya, kekhususannya, kemampuannya mengingat, menentukan sikap dan mengambil keputusan, mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat, menikmati, mengalami kecemasan dan sebagainya.
Konsep ini tidak lagi melihat apakah organ – organ tubuh yang lain masih berfungsi atau tidak., tetapi apakah otaknya masih mampu atau tidak menjalankan fungsi pengendalian, baik secara jasmani maupun sosial, atau tidak. Dalam konsep ini kepentingan transplantasi tidak menjadi pertimbangan utama lagi, tetapi juga tidak dilupakan.
Pengembangan kriteria mati yang baru bagi dunia kedokteran, secara moral, bukan hanya demi untuk kepentingan transplantasi organ saja, tetapi juga untuk memastikan kapan alat – alat bantu resusitasi boleh dihentikan.
Oleh karena itu para pakar kedokteran mencari tanda-tanda baru tentang kematian, yang memenuhi kriteria teknis dan kritera moral. Konsep yang paling dekat dengan kepentingan ini adalah konsep yang keempat. Karena pusat penggerak berbagai fungsi dalam tubuh manusia itu secara anatomis diketahui terletak di batang otak. Bila batang otak sudah mati, dapatlah diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan sosial sudah mati. Itulah awal dari kriteria kematian batang otak sebagai kriteria yang baru.
Euthanasia versus Etika dan hukum Kedokteran di Indonesia
Lafal sumpah dokter Indonesia (yang isinya sesuai dengan deklarasi jenewa 1948 dan Deklarasi Sidney 1968) antar lain berbunyi:
“saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan .....” dan
“saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan .....”.
Sedangkan kode etik kedokteran Indonesia menyatakan:
“..... Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani.....”.
Dengan demikian menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan malakukan abortus maupun pengakhiran hidup seseorang yang sakit atau tegasnya euthanasia.
Aturan hukum tentang euthanasia di Indonesia belum jelas mengatur namun beberapa pasal KUHP cukup tegas menyebutkan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang, apalagi euthanasia aktif dengan permintaan.
Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia, dapat disebutkan antara lain:
Pasal 338 : barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 : barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lalamanya dua puluh tahun.
Pasal 344 : barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 345 : barang siapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam denga pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pasal 359 : menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun.
Sedangkan hubungan hukum dengan dokter-pasien secara umum dapat pula ditinjau dari sudut perdata, di mana pasal-pasal 1313, 1314, 1315 dan 1319 KUH Perdata mengatur hal perjanjian tersebut. Selanjutnya pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, dituntut izin berdasarkan keinginan bebas dari kedua belah pihak.
Dengan demikian apabila seorang dokter melakukan suatu tindak medik tanpa izin pasien, dapat dikategorikan sebagai tindak penganiayaan dan dapat dikenakan pasal 351 KUHP.
Uraian di atas, sepintas lalu tampak bahwa doter (dan tenaga kesehatan lainnya) terjepit dalam posisi “serba salah” menghadap euthanasia. Kalau pasien dibiarkan meninggal atau tidak dilakukan suatu tindak medik tertentu terhadap pasien, dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 KUHP, yang berbunyi: “barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib memberi kehidupan perawatan, atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4500-,”. Sebaliknya apabila dokter melakukan suatu tindak medik dan kemudian pasien meninggal, ia dapat dituntut karena melakukan tindak menghilangkan jiwa orang lain sebagaimana disebut dalam pasal – pasal KHUP.
Walaupun euthanasia pada dasarnya telah diatur dengan pasal – pasal KUHP seperti tersebut diatas, khususnya pasal 344 tetapi Van Wijmen (1985) mencatat beberapa hal yang tidak termasuk dalam rumusan pasal tersebut yaitu:
· Abstinence, of which the essence is that treatment in medical respects is useless
· Refusing treatment by the patient, in which case the patien’s decision must be fully respected
· Brain – death, in which case the duty to treat ceasestro exist.
Sedangkan Leneen mensinyalir bahwa dalam dunia medis kadang – kadang dapat disaksikan bentuk – bentuk pengakhiran kehidupan yang bukan euthanasia tetapi mirip dengannya, yang kemudia dirumuskan dengan istilah euthanasia – semu ( pseudo – euthanasia ).
Bentuk – bentuk Pseudo – euthanasia itu adalah :
1. Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati batang otak.
2. Pengakhiran hidup seseorang akibat keadaan darurat yang dapat terjadi oleh kuasa tak terlawan (force majeure).
3. Menghentikan suatu perawatan medik yang diketahui tak ada gunanya lagi.
4. Pasien menolak perawatan medik
Dalam hal pengakhiran kehidupan yang di kehendaki oleh pasien yaitu pasien menolak perawatan medik dapat lihat dari informed concent yaitu suatu perjanjian yang dilakukan antara tenaga medis dan pasien yang diatur juga dalam KUHPerdata pasal 1320 yang berbunyi: untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentuSuatu sebab yang halal
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar